Kamis, 31 Maret 2011

Belajar filsuf yang ironis


Untuk apakah hidup ini? Bila kucari hingga ujung, akankah dunia menjawabnya? Bila kususuri hingga bagian paling gelap di suatu sudut hampa di belahan lain bumi, akankah kutemui jawabnya? Bila makhluk asing bisa temukan kehidupan di bumi hanya melalui sebuah lubang cacing, akankah kutemukan satu kehidupan yang lebih berarti melalui sebuah lubang hampa didalam celah hati ini? Ah, hidup memang misteri. Ya, misteri…

Di satu waktu dalam penciptaan jagad, aku terdiam disamping jendela di atas khayal yang bukan mimpi. Duduk, itu yang kulakukan. Dan hanya itu yang bisa kulakukan. Apa lagi? Tak ada hal lain yang lebih berguna yang bisa kulakukan selain duduk terdiam, meratapi hidup. Menatap satu persatu butiran hujan yang berjatuhan dari langit. Alangkah banyak butiran itu, butiran bening yang indah berkilau karena disentuh oleh hangatnya mentari senja. Butiran itu sangat kecil, berdiameter kira-kira 2 milimeter. Namun mereka sungguh banyak hingga tak mungkin untuk dihitung. Adakah yang sanggup menghitung satu dari sekian_sekian ciptaan Tuhan ini?

Satu saja tetesan air mata langit itu menyentuh bumi dalam sehela nafas, berjuta helaan nafas lainnya kian tercipta atas kekuasaan-Nya. Dalam otak yang kerdil ini tengah berenang-renang satu tanya tentang mimpi buruk. Apa yang akan terjadi bila gravitasi di bumi ini tiba-tiba saja lepas dan menghilang? Misalkan gravitasi menjadi kabut pekat, masihkah air yang suci itu kan menyejukan kehidupan. Bukankah segala sesuatu yang jatuh ke tanah kering ini adalah karena Tuhan menghendaki adanya gravitasi.

Alangkah berharganya air mata langit untuk menghentikan berjuta tangisan manusia di alam ini. Ya, butir-butir hujan yang masih suci. Lalu apa yang akan terjadi bila kesucian itu tiba-tiba saja terkontaminasi dengan asam yang kadarnya begitu tinggi. Asam yang tak lain diciptakan oleh manusia itu sendiri. Bukankah manusia ingin kesejukan murni, lantas mengapa mereka merusak impian itu sendiri…

Oh, Tuhan!

Dalam lamun kesendirianku senja itu, yang hanya berteman sepi dan dingin, memoriku melayang-layang menembus atmosfer sejarah kehidupanku. Peristiwa yang baru berlalu beberapa jam saja. Tentu yang kuingat haruslah yang baru saja terjadi. Kapasitas memoriku mungkin hanya sebatas floppy 31/2 inchi saja, hanya mampu menampung 720 kb dari seluruh alam nyataku. Sungguh, begitu kerdilnya diri ini jika dibandingkan dengan Einstein dan Shakespeare. Bahkan tak mampu menjangkau Habibie yang sama-sama bangsa Indonesia, tak mungkin. Dari 36 manusia yang bernaung dibawah satu atap kelas saja, mungkin aku berada di urutan paling bawah.

“Apakah arti hidup menurut kalian?” Sebuah kalimat tanya meluncur bagaikan rudal menggelegar di sebuah ruang kelas. Bila kalimat itu adalah rudal, maka Pak Ernest adalah Bumi dan kami para siswa adalah Bulannya. Jelas, kalimat itu tertuju padaku dan siapa saja yang mendengarnya.

“Hidup adalah sesuatu yang buruk, namun harus dibuat baik dengan usaha.” Seseorang angkat bicara. Mungkin dia adalah orang paling hebat saat ini karena mampun berpendapat tentang artian hidup yang misterius.

“Hidup adalah sesuatu yang buruk ketika hal itu buruk, dan hidup juga adalah sesuatu yang baik ketika dia menjadi baik.” Seorang lainnya ikut berpendapat. Sedikit inginku untuk tersenyum mendengar kalimatnya itu. Baik dikala baik, dan buruk disaat buruk. Bukankah itu sebuah pandangan hidup yang, menurutku, plin plan. Maka apakah hidup itu sendiri adalah sesuatu yang plin plan?

Ketika kutanya tentang artian hidup pada seseorang yang senantiasa berada disampingku, sahabat sebangku. “Apakah artian hidup menurutmu?” Senantiasa ia menggeleng seketika. Tentu saja jawabannya adalah,”Aku tak punya pandangan hidup.” Lantas apakah hidup adalah sesuatu yang kosong?

Jika saat itu Pak Ernest bertanya padaku, maka jawabanku mungkin, “Hidup adalah misteri.” Hmh, aku tersenyum sendiri memikirkannya. Itu bukan sebuah jawaban, kan? Ah, aku semakin bingung memikirkan arti hidup ini.

Senja semakin merajam, malam semakin kelam, pandanganku semakin buram. Kuambil sebuah buku besar yang beratnya hampir satu kilo. Mungkin ilmu yang berada didalamnya begitu banyak pula. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 1989 yang telah disesuaikan denga EYD. Kubuka sehelai demi sehelai halamannya. Pertama yang kulakukan adalah mencari hurup awal H yang setelah kutemukan segera kucari kata hidup.

Menurut kamus bahasa Indonesia, hidup berarti masih bergerak, masih berguna, bertumpu pada satu hal. Aku masih bisa dikatakan hidup karena aku masih bisa bergerak. Aku juga masih hidup karena aku bertumpu pada suatu kehidupan, yaitu mimpi. Tapi, apakah aku masih bisa dikatakan hidup disaat diriku saat ini sungguh tidak berguna?

Berguna bagiku adalah bisa membahagiakan kedua orang tua yang senantiasa menyayangi dan mengharap yang terbaik dariku. Berguna itu adalah aku yang mampu mencipta sesuatu dengan pikiranku sendiri. Aku ingin berguna, tapi tak bisa.

Ah, aku masih penasaran dengan arti hidup ini. Yang kutahu kehidupanku akhir-akhir ini senantiasa dipenuhi oleh hujatan-hujatan tugas sekolah. Sungguh aku muak bila mengingatmya, jangan-jangan hidup adalah sebuah tugas yang harus kita selesaikan. Dan lebih cepat itu lebih baik. Mungkin juga hidup ini adalah sebuah ulangan harian yang harus dikerjakan dengan baik dan benar. Tapi apakah aku mampu lulus test disaat tugas-tugas semakin bertambah dan bertambah.

Jangan-jangan seorang guru itu (maaf) gila! Sempat aku berpikir demikian dengan keadaan seperti ini. Maaf! Inilah hidup, manusia, yang selalu berfikir negative ketika otaknya hampir buntu. Dan rupanya pagi ini kapasitas otakku telah mengalami Random Error, kesalahan dalam pengukuran hidupku. Benar-benar fatal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar